Kelahiran dan
masa Kanak-kanak
KH. Abdul
Madjid QS. Wa RA. Lahir dari pernikahan Syekh Mohammad Ma’roef pendiri pondok
pesantren Kedunglo dengan Nyai Hasanah putri Kyai Sholeh Banjar Melati Kediri. Beliau
lahir pada hari Jum’at Wage malam 29 Ramadhan 1337 H atau 20 Oktober 1918
sebagai putra ke tujuh dari sembilan bersaudara. Beliau lahir di tengah
pesantren yang luas dan sepi dikelilingi rawa-rawa dengan jumlah santri yang
tidak pernah lebih dari empat puluh orang yaitu KEDUNGLO.
Ketika masih
baru berusia dua tahun oleh bapak ibunya, beliau dibawa pergi haji ke Mekkah Al
Mukaromah. Di Mekkah, setiap memasuki jam dua belas malam Kyai Ma’roef selalu
menggendong beliau ke Baitulloh dibawah Talang Mas. Di sana Kyai Ma’roef berdoa
agar bayi yang berada dalam gendongannya kelak menjadi orang besar yang sholeh
hatinya. Begitu juga di tampat-tempat mustajabah lainnya. Kyai Ma’roef selalu
mendoakan beliau agar menjadi orang yang sholeh.
Konon selama
berada di Mekkah, beliau juga di khitan disana dan akan diambil anak oleh salah
seorang ulama Arab dan disetujui oleh Kyai Ma’roef, tatapi Nyai Hasanah
keberatan sehingga beliau tetap dalam asuhan kedua orang tuanya.
Cerita bahwa
beliau akan diangkat sebagai anak oleh ulama Mekkah memunculkan sebuah ungkapan
“Kalau bukan karena Kyai Madjid maka Sholawat Wahidiyah tidak akan lahir, dan
kalau bukan karena Nyai Hasanah Sholawat Wahidiyah tidak akan lahir di bumi
Kedunglo”.
Sepulang dari
Mekkah, muncul kebiasaan unik pada diri beliau, Beliau yang masih dalam usia
tiga tahun (balita), hampir di setiap kesempatan berkata, “Qul dawuha siro
Muhammad” sambil meletakkan kedua tangannya diatas kepala. Kebiasaan semacam
itu terus berlangsung hingga beliau memasuki usia tujuh tahun.
Kebiasaan lain
beliau semasa kanak-kanak adalah suka menyendiri, kurang suka bergaul dan
sangat pendiam, beliau hanya mau bermain dengan mbak Ayunya Romlah dan mbak
Ayunya ini pula yang mengajari beliau baca tulis Al qur’an untuk pertama kali.
Sifat pendiam
dan tidak suka memamerkan keistimewaan yang dimiliki terus dibawa beliau hingga
memasuki usia remaja. Karena sifat pendiam beliau inilah hingga tidak ada yang
tahu keistimewaan-keistimewaan beliau di masa kanak-kanak dan remajanya.
Walaupun
secara lahiriyah tidak tampak istimewa dibanding dengan Gus Malik adiknya yang
pandai dan sering menampakkan kekeramatannya. Dan Gus Malik pula yang bertindak
sebagai wakil ayahnya apabila Kyai Ma’roef tidak ada atau sedang berhalangan,
hingga tidak sedikit yang menyangka bahwa Gus Malik lah calon penerus Kyai
Ma’roef. Akan tetapi pada hakikatnya, Kyai Ma’roef telah mempersiapkan Agus
Madjid sebagai penggantinya sejak beliau baru di lahirkan. Terbukti, meski
masih berusia dua tahun, ayahnya telah membawa pergi haji. Padahal kita semua
tahu bagaimana kondisi transportasi dan akomodasi jamaah haji di tahun 1920-an.
Sungguh sulit, penuh rintangan dan melelahkan belum lagi kondisi cuaca alam
tanah Arab yang berbeda jauh dari kondisi di Indonesia, dan itu ditempuh
berbulan-bulan lamanya.
Bukti lain
bahwa beliau dipersiapkan sebagai calon pengganti ayahnya, adalah setiap
mendekati bulan haji. Kyai Ma’roef selalu kedatangan tamu dari kalangan Sayyid
dan Sayyidah dari jazirah Arab. Saat itulah, sambil menggendong Agus Madjid,
Nyai Hasanah berkata kepada tamunya,”Niki ndoro Sayyid yugo kulo njenengan
suwuk, dados tiyang ingkang sholeh atine.” (ini tuan Sayyid, doakan anak saya
agar menjadi orang yang sholeh hatinya).
Pernah suatu
hari saat Kyai Ma’roef sedang bepergian, datang seorang Habib hendak
bersilahturrahmi. Karena Kyai Ma’roef tidak ada, si tamu minta dipanggilkan
Agus Madjid katanya mau didoakan. Karena Agus Madjid sedang bermain dan belum
mandi, maka abdi dalem membawa Gus Malik yang sudah rapi untuk menemui tamu
tersebut. “Wah, ini bukan Agus Madjid, tolong bawa Agus Madjid kemari!” kata si
habib kepada abdi dalem.
Pada Masa
Remaja
Memasuki usia
sekolah, beliau sekolah di Madrasah Ibtida’iyah namun hanya sampai kelas dua.
Selanjutnya, Kyai Ma’roef mengantar beliau mondok ke Jamsaren Solo pada Kyai
Abu Amar. Genap tujuh hari di Jamsaren. Beliau dipanggil gurunya disuruh
kembali ke Kedunglo “Wis Gus panjenengan kondur!”, sambil dititipi surat agar
disampaikan kepada ayahnya. Beliau menuruti perintah Kyai Abu Amar meski dengan
pikiran penuh tanda tanya kembali ke Kediri. Setiba di rumah, ternyata ayahnya
yang mengantarkan beliau mondok masih belum kembali sementara yang diantarkan
sudah kembali.
Terdorong akan
jiwa muda yang ingin menimba ilmu pengetahuan. Beliau kemudian mondok ke
Mojosari Loceret Nganjuk. Namun setelah hari ke tujuh beliau dipanggil Kyai
Zainudin gurunya. “Gus sampeyan sampun cukup, mboten usah mondok kundor mawon,
wonten dalem kemawon”. (Gus anda sudah cukup, tidak usah mondok pulang saja, di
rumah saja). Beliau pun kembali pulang ke Kediri dan matur kepada ayahnya kalau
gurunya tidak bersedia memberinya pelajaran.
“Wis kowe tak
wulang dewe, sak wulan podho karo sewu wulan”. (Kalau begitu kamu saya ajari
sendiri, satu bulan sama dengan seribu bulan). Ujar Kyai Ma’roef. Maka setelah
empat belas hari mondok di Jamsaren dan Mojosari, gurunya adalah ayahnya
sendiri Kyai Ma’roef yang telah mewarisi ilmu Kyai Kholil dari Bangkalan. Oleh
ayahnya setiap selesai sholat Maghrib beliau diajari aneka macam ilmu yang
diajarkan dipondok pesantren maupun ilmu yang tidak diajarkan di pondok
pesantren. Sehingga Kyai Ma’roef pernah berkata kepada adik Gus Madjid “Madjid
itu tidak kalah dengan anak pondokan”.
Tak heran
kalau pada akhirnya beliau tumbuh sebagai pemuda yang sangat alim dan wara’.
Ibarat padi semakin tinggi ilmunya beliau semakin tawadhu dan pendiam sehingga
siapapun tidak pernah menyangka kalau di balik kediamannya tersimpan segudang
ilmu pengetahuan dan sejuta keistimewaan. Tapi, itulah keistimewaan beliau yang
tidak pernah menunjukkan keistimewaan dan karomah-karomahnya kepada sesamanya.
Pernikahan
Ketika berusia
27 tahun dan hampir menguasai seluruh ilmu ayahnya, beliau semakin tampak
dewasa dan matang. Tidaklah heran jika banyak gadis yang mengidamkan beliau.
Karena disamping beliau dikenal sebagai putra kyai yang masyur dan makbul
doanya, beliau adalah sosok pemuda alim berwajah tampan nan rupawan bagaikan
rembulan.
Namun dari
sekian gadis, pitri-putri yang mendambakan dipersunting beliau, akhirnya
pilihannya jatuh pada gadis bernama Shofiyah yang baru berusia 16 tahun putri
K. Moh. Hamzah dengan Umi Kulsum, buyut KH. Mansyur pendiri kota Tulung Agung
yang mendapat tanah perdikan dari Sultan Hamengkubuwono II karena telah
berhasil mengeringkan sumber Tulung Agung dan kini menjadi alun-alun kota
Tulung Agung.
Semula, beliau
dijodohkan dengan sepupunya sendiri yaitu “Nyai Zainab” putri KH. Abdul Karim
Manaf dari Lirboyo (yang akhirnya dinikahi oleh KH. Mahrus Lirboyo). Tetapi
saat ditawari akan dinikahkan dengan saudara sepupunya yang cantik dan pintar
itu beliau hanya diam saja. Meski tidak mendapat jawaban yang pasti dari
beliau, antar pihak Kedunglo dan Lirboyo sepakat akan menikahkan keduanya.
Kemudian
diselenggarakan upacara akad nikah putra dan putri kyai yang masih kerabat
dekat dan sama-sama pernah menjadi santri Kyai Kholil Bangkalan ini, dengan
menyembelih lima ekor kambing. Tetapi entah kenapa, ketika Pak Naib meng-akid,
calon pengantin putra hanya diam saja tidak menjawab. Berkali-kali Pak Naib
mengucapakan ijab tetapi tidak mendapat jawaban qobul dari Agus Madjid. Maka
mengertilah bahwa beliau tidak mau dinikahkan dengan Nyai Zainab saudara
sepupunya tersebut.
Setelah
pernikahan antar kerabat tersebut batal, beliau ditawari kembang dari
Tawangsari kota Tulung Agung oleh Yusuf santri ayahya yang tidak lain adalah
paman si gadis. Beliau setuju dan melihat si gadis tersebut sedang memetik
beberapa kuntum bunga Melati dari balik jendela di bawah menara masjid. Si gadis
itu tidak lain adalah Nyai Shofiyah putri ke tujuh dari dua belas bersaudara.
Pernikahan
antara Kyai Abdul Madjid dengan Nyai Shofiyah dikaruniai empat belas anak,
yaitu : Ning Unsiyati (Almh), Ning Nurul Isma, Ning Khuriyah(Almh), Ning Tatik
Farikhah, Agus Abdul Latif, Agus Abdul Hamid, Ning Fauziah(Almh), Ning
Djauharotul Maknunah, Ning Istiqomah, Agus Moh.Hasyim Asy’ari(Alm), Ning Tutik
Indiyah, Agus Syafi Wahidi Sunaryo, Ning Khuswatun Nihayah dan Ning Zaidatun
Inayah.
Kepribadian
dan Kehidupan Berumah Tangga
Beliau
mempunyai kepribadian yang sangat mempesona. Menurut penuturan orang-orang yang
hidup sejaman beliau, akhlak Mbah Yahi Abdul Madjid QS wa RA adalah biakhlaqi
Rasulillah. Berbadan sedang dengan warna kulit putih bersih. Berhidung mancung
agak tumpul dan berbibir bagus agak lebar dengan garis bibir tidak jelas yang
menunjukkan bahwa beliau mempunyai tingkat kesabaran yang luar biasa. Matanya
cekung dengan kelopak dan pelipis mata ke dalam bak gua menunjukkan bahwa
beluai seorang yang mempunyai pemikiran yang tajam dan dalam. Di antara kedua
matanya terdapat urat halus dan lurus sebagai pertanda beliau Mbah Yahi Madjid
mempunyai otak briliyan. Tangannya halus dan lembut selembut hatinya yang
pemaaf. Kalau berjalan beliau melangkah dengan pelan tapi pasti dengan sorot
mata mengarah kebawah. Terkadang beliau juga menoleh ke kanan/ke kiri untuk
melihat situasi dan keadaan jamaah.
Kalau bicara
tenang dan santai disertai senyum, beliau juga sering melontarkan
kalimat-kalimat canda yang membuat beliau dan tamunya tertawa. Beliau juga
bebicara dengan jawami’ kalam, artinya kata-kata yang dituturkannya mengandung
makna yang banyak, karena beliau mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan
sesuatu dengan ringkas dan padat. Beliau juga mampu memberikan makna yang
banyak dalam satu ucapan yang dituturkannya. Beliau juga mengucapkan kata-kata
dengan jelas, tidak lebih dan tidak kurang dari yang dikehendaki. Beliau
memperhatikan sungguh-sungguh kepada orang yang berbicara dengannya.
Disamping itu
beliau dikenal sangat dermawan. Tak jarang tamunya yang sowan dan tampak tidak
punya ongkos buat pulang diberi ongkos oleh beliau. Pernah juga beliau memberi
belanja kepada seorang pengamal yang tidak punya penghasilan. Ada pula seorang
pengamal yang ingin tahu keramatnya beliau, ketika si tamu pamit pulang beliau
memberikan jubahnya kepada si tamu tersebut.
Beliau sangat
memperhatikan kebersihan dan kesucian badannya. Baju yang telah dipakai sekali
tidak di pakai lagi. Karena tidak heran kalau beliau sering mencuci pakaiannya
sendiri bahkan juga menguras jedingnya sendiri. Dalam masalah ini beliau pernah
mengungkapkan rumah itu hendaknya suci seperti masjid dan bersih seperti rumah
sakit.
Bila marah,
beliau Cuma diam. Hanya roman mukanya yang sedikit berubah. Kalau beliau mau
berbicara pertanda bahwa marahnya sudah hilang dan seperti tidak terjadi
apa-apa. Perihal marah ini Mbah Nyahi sebagai orang terdekat yang telah
menemani beliau lebih dari 40 tahun menuturkan. “Kalau beliau kurang berkenan
kepada saya, atau ada kesalahan yang telah saya lakukan tetapi saya kurang
menyadarinya, beliau hanya diam saja dengan roman muka sedikit berubah tidak
seperti biasanya. Kalau Mbah Yahi sudah demikian, saya bingung dan sedih
sekali. Begitu besarkah kesalahan saya di mata beliau? kemudian satu persatu
saya koreksi kesalahan apa yang telah saya lakukan sehingga beliau tidak
menegur saya. Semakin saya koreksi, saya merasakan terlalu banyak kesalahan
yang telah saya perbuat sehingga saya tidak tahu dimana letak kesalahan saya
sendiri. Namun itu tidak berlangsung lama, sebentar kemudian beliau menegur
saya dan selanjutnya seperti tidak pernah terjadi apa-apa.”
Dari sini kita
tahu bahwa kehidupan rumah tangga beliau jauh dari perselisihan dan tidak
pernah terjadi pertengkaran. Kalaupun ada kesalahan yang telah dilakukan,
masing-masing sibuk mengkoreksi kesalahannya sendiri. Itulah Mbah Yahi, yang
sering berfatwa agar para pengamal lebih sering “nggrayahi jithoke dewe”
(mengoreksi kesalahannya sendiri), ketimbang mengurusi kesalahan orang lain dan
ternyata lebih dulu diterapkan pada keluarga beliau.
Kehidupan
rumah tangga beliau adalah potret kehidupan rumah tangga harmonis dan sangat
bahagia. Sebagai suami, beliau adalah sosok suami yang romantis, amat setia,
mencintai dan menyayangi istri sepenuh hati. Meski sebagai putra kyai, beliau
tidak segan-segan menghibur istrinya dengan mengajak menonton pasar malam seraya
menggandeng tangan Mbah Nyahi bahkan beliau juga menggendong Mbah Nyahi apabila
menjumpai jalan yang licin atau kubangan-kubangan di tengah jalan. “Kalau kami
jalan berdua, Mbah Yahi itu tidak pernah melepaskan tangan saya. Beliau selalu
menggandeng tangan saya. Kemana-mana selalu kami lakukan berdua. Bahkan untuk
mencari hutangan kalau kami tidak punya uang, kami mencari bersama-sama”. Tutur
Mbah Nyahi saat menceritakan kemesraan Mbah Yahi.
Dalam
kehidupan sehari-hari Mbah Yahi Madjid QS wa RA, sebagaimana yang dikatakan
Mbah Nyahi RA, beliau adalah manusia biasa seperti manusia lainnya. Beliau
mencuci baju sendiri dan kerap kali mencucikan baju Mbah Nyahi atau baju
putra-putrinya yang tertinggal di kamar mandi pribadi beliau. Beliau selalu
membantu Mbah Nyahi menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Kalau Mbah Nyahi akan
memasak sayur santan, beliau yang memarut kelapanya dan Mbah Nyahi yang membuat
bumbunya. Beliau juga membantu mengasuh putra-putrinya yang masih kecil-kecil,
memandikan, mendandani bahkan menyuapi.
Kalau
persediaan padi hasil panenan habis, beliau memanen sayuran kangkung yang
beliau tanam sendiri, lalu di jual ke pasar oleh Mbah Nyahi untuk dibelikan
beras. Tak jarang beliau sekeluarga hanya makan sayur kangkung saja. Dalam
kehidupan rumah tangga Mbah Yahi dulu, tidak mempunyai apa-apa sama sekali
sudah biasa. Dan kondisi semacam itu diterima dengan tabah, sabar dan ikhlas
oleh Mbah Nyahi.
Melihat
kondisi Mbah Yahi sekeluarga yang sangat sederhana dan apa adanya tersebut. Pak
Haji Alwan merasa kasihan dan berkata kepada Mbah Yahi, “Romo Kyai Ma’roef itu
orangnya ampuh dan apa-apa yang beliau inginkan, Kyai Ma’roef tinggal berdo’a
mohon keapada Allah langsung diijabahi”. Tapi apa jawab Mbah Yahi. “Pak Haji
Alwan, kalau bapak dulu dengan berdoa langsung diijabahi oleh Allah, sedangkan
saya ndak usah berdoa, hanya krenteg(terbetik) dalam hati saja langsung
diijabahi oleh Allah, tapi saya tidak mau”.
Jawaban Mbah
Yahi QS wa RA di atas mengingatkan kita kepada Rasulullah SAW, saat Malaikat
Jibril merasa sangat prihatin menyaksikan kehidupan harian Rasulullah makhluk
terkasih di sisi Allah yang hidup sangat sederhana, sehingga Malaikat Jibril
menawari Rasulullah hendak mengubah gunung menjadi emas. “Biarlah saya begini,
sehari lapar sehari kenyang. Ketika aku lapar , aku bisa mengingat Tuhanku dan
menjadi orang yang sabar. Dan ketika aku kenyang, aku bisa memuji Tuhanku dan
menjadi hamba yang bersyukur”. Itulah jawaban manusia termulia di muka bumi
ini.
Dalam menerima
tamu beliau juga tidak pilih-pilih atau tanpa pandang bulu, baik itu dari
kalangan atas atau sebaliknya, beliau selalu menerima dan menghormati tamu yang
datang kepada beliau dengan memperlakukan para tamu dengan baik dan bertutur
kata dengan bahasa yang halus (boso/dengan krama inggil bahasa jawa).
Mbah Yahi QS
wa RA pada awal-awal penciptaan Sholawat Wahidiyah, senantiasa prihatin. Beliau
prihatin karena urusan-urusan penting yang sedang dihadapinya. Keprihatinan
beliau bukanlah berkaitan dengan masalah khusus mengenai diri beliau, melainkan
yang berhubungan dengan masyarakat jami’al alamin.
Hal lain
mengenai beliau adalah setiap orang yang memandang beliau akan merasakan
kesejukan yang merasuk ke dalam hati. Dan siapapun yang beliau pandang hatinya
pasti bergetar.
Aktivitas
Keorganisasian
Sebelum
mentaklif Sholawat Wahidiyah beliau adalah adalah aktifis NU (Nahdatul Ulama)
sebuah organisasi terbesar di Indonesia. Ketika usia remaja beliau aktif di
Anshor dan di Kepanduan (sekarang Pramuka) milik NU. Beliau juga gemar berolah
raga khususnya sepak bola. Jadi meskipun beliau telihat sangat pendiam dan
nampak kurang pergaulan, tetapi kenyataannya beliau adalah seorang yang luwes
dalam pergaulan. Keaktifannya di NU terus berlanjut meski beliau sudah menikah.
Beliau pernah menjabat sebagai Pimpinan Syuriah NU kec. Mojoroto tahun 1948 dan
Syuriah NU cabang Kodya Kediri. Namun setelah beliau mentaklif Sholawat
Wahidiyah dan ajarannya tahun 1963 beliau tidak lagi aktif di organisasi
tersebut.
Dalam memimpin
organisasi beliau juga sangat bijaksana, pernah suatu saat diadakan rapat
pimpinan di Bandar Lor, yang hadir ada lima orang dan salah satu di antaranya
adalah Bapak Alwi Bandar Lor. Dalam rapat tersebut beliau mendawuhkan “Nopo
sampun podo setuju?”(apa semua sudah setuju?) lalu para tamu mengatakan setuju
kemudian diam, lalu beliau berkata “Terus kados pundi?” (Lalu bagaimana?) dan
anehnya untuk tinggal mengetok atau mengakhiri sampai lama sekali , sehingga
dapat disimpulkan bahwa beliau dalam memutuskan hasil musyawarah tidak langsung
memvonis tetapi dengan menunggu pendapat dari anggota musyawarah.
Peristiwa-Peristiwa
Penting Pada Awal Penyiaran Sholawat Wahidiyah
Pada Tahun
1964, Mbah Yahi menyelenggarakan resepsi ULTAH sholawat Wahidiyah yang Pertama
dan disebut EKAWARSA sekaligus khitanan Agus Abdul Hamid dan selapan harinya
Ning Tutik Indiyah dengan mengundang Pembesar Ulama dari berbagai daerah di
Jawa Timur, disamping keluarga dan kaum muslimin lainnya. Hadir sebagai tamu
antara lain : KH. Abdul Wahab Hasbullah (Rois “Am Nahdhatul Ulama dan pengasuh
Pesantren bahrul Ulum Tambak Beras Jombang), KH. Machrus Ali (Syuriah NU
Wilayah Jatim dan Pengasuh Ponpes Lirboyo Kediri), KH. Abdul Karim Hasyim
(putra pendiri NU dan pengasuh pesantren Tebu Ireng Jombang) dan KH. Hamim
Djazuli (Gus Mik) (putra pendiri Ponpes Al Falah Ploso Mojo Kediri).
Kesempatan
baik tersebut dipakai oleh Mbah Yahi untuk menyiarkan Sholawat Wahidiyah kepada
segenap hadirin. “Permisi saya mempunyai amalan Sholawat Wahidiyah apakah
panjenengan mau saya beri ijazah?” Kata Mbah Yahi dalam sambutannya. Spontan
yang hadir menjawab “Kerso”(mau), diantara hadirin ada yang berdiri dan ada
pula yang setengah berdiri. Saat itu pula Kyai Wahab Hasbullah spontan berdiri
sambul mengacungkan tangannya dibarengi ucapan yang lantang. “Qobiltu awwalan,
Qobiltu awwalan”(Saya terima duluan).
Sementara itu
KH. Wahab Hasbullah dalam sambutannya antara lain mengatakan, “Hadirin….ilmu
Gus Abdul Madjid dalam sekali, ibarat sumur begitu sedalam sepuluh meter,
sedang saya hanya memiliki ukuran satu koma dua meter saja, Sholawatnya Gus
Madjid ini akan saya amalkan”.
Setelah itu
beliau semakin gencar dalam menyiarkan Sholawat Wahidiyah dan membentuk sebuah
organisasi yang bernama “PUSAT PENYIARAN SHOLAWAT WAHIDIYAH” yang diketuai oleh
bapak KH. Yassir dari Jamsaren Kediri.
Pernah pada
suatu saat beberapa ulama utusan Partai NU cabang Kediri bersama-sama
bersilahturahmi kepada beliau mohon penjelasan tentang Sholawat Wahidiyah
beliaupun menjelaskan dengan jawaban yang singkat dan tepat. Beberapa pertanyaan
yang diajukan diantaranya: “Sholawat Wahidiyah itu prinsipnya apa? Dasarnya apa
dan menurut Qoul yang mana? Dengan tegas beliau menjawab. “Sholawat Wahidiyah
itu susunan saya sendiri”. Para tamu kembali bertanya, “apa benar, Kyai
mengatakan kalau orang yang membaca Sholawat Wahidiyah itu sama dengan ibadah
setahun?” Di jawab oleh Mbah Yahi, “Oh, bukan begitu. Saya hanya mendapat
alamat, kalau membaca Sholawat “Allohumma kamma Anta Ahluh…..” itu sama dengan
ibadah setahun. Begitu itu, ya tidak saya jadikan hukum. Adalagi keterangan
lain, “Orang membaca Sholawat badawi sekali sama dengan khatam dalil sepuluh
kali”. Para tamu masih terus bertanya, “Apa benar Kyai, kalau tidak mengamalkan
sholawat Wahidiyah itu tidak bisa makrifat?. Itukan menjelek-jelekkan thoriqoh,
menafikkan thoriqoh?” Dengan tegas dan lugas beliau menjawab, “Bukan begitu,
masalah jalannya makrifat itu banyak”. Setelah itu para tamu tidak
bertanya-tanya lagi.
Suatu ketika
Muallif juga memberikan penjelasan mengenai Sholawat Wahidiyah di Dk. Mayan
desa Kranding kec. Mojo kab. Kediri di hadapan para Kyai se-kecamatan Mojo
Selatan. Yang hadir pada saat itu antara lain KH. M. Djazuli Pengasuh Penpes Al
Falah ploso. Dalam khutbah iftitahnya beliau Muallif Sholawat Wahidiyah
mengucapkan : “Alhamdulillahi aataanaa bilwahidiyyati bifadli robbina”.
Sebelum
Wahidiyah disebarkan secara umum. Beliau mengirimkan Sholawat Wahidiyah yang
ditulis tangan oleh K. Muhaimin (Alm) santri Kedunglo, kepada para ulama Kediri
dan sekitarnya disertai surat pengantar yang beliau tanda tangani sendiri.
Sejauh itu tak satupun kyai yang dikirimi Sholawat mempersoalkan Sholawat
Wahidiyah. “Semua doa sholawat itu baik”. Begitu komentar para kyai waktu itu.
Kalau pada
akhirnya muncul pengontras-pengontras Wahidiyah, oleh Mbah Yahi pengontras itu
justru dipandang sebagai kawan seperjuangan bukan sebagai lawan. Sebab dengan
adanya pengontras tersebut mendorong pengamal jadi lebih giat dalam
bermujahadah dan sesungguhnya para pengontras itu ikut menyiarkan Wahidiyah
dengan cara dan gayanya sendiri-sendiri. Karena dengan adanya pengontras itu,
orang yang semula belum tahu Wahidiyah menjadi tahu. Mereka juga ikut andil
dalam perjuangan Fafirruu Ilalloh wa Rasulihi SAW.
Wasiat Muallif
Sholawat Wahidiyah tanggal 7 dan 9 Mei 1986
Kurangnya
keserasian kerja diantara lembaga yang didirikan oleh Muallif yaitu: Penyiar
Sholawat Wahidiyah Pusat (PSW Pusat) dan Dewan Pertimbangan Perjuangan
Wahidiyah (DPPW) yang ingin terus mencampuri urusan teknis operasional PSW
Pusat, sehingga muncul berbagai masalah antara DPPW dan PSW Pusat. Sementara
itu di Pondok Kedunglo juga muncul permasalahan-permasalahan yang melibatkan
sebagian keluarga.
Dengan arif
dan bijaksana Muallif Sholawat Wahidiyah RA membentuk suatu Team yang disebut
“Team 3”, yang terdiri dari K. Ihsan Mahin, K Moh. Jazuli Yusuf dan H. Moh.
Syifa. Team 3 ditugasi langsung oleh Muallif RA untuk mencari penyelesaian
berbagai kasus dan permasalahan yang terjadi baik di lingkungan PSW Pusat dan
DPPW maupun yang berhubungan dengan Pondok Kedunglo.
Ditunjuk Drs.
Syamsul Huda sebagai Pejabat sementara wakil ketua PSW Pusat menggantikan K.
Moh. Jazuli Yusuf. Pada tanggal 7 Mei 1986 Muallif Sholawat Wahidiyah RA
memberikan “wasiat” kepada Team 3 yang sowan (datang) melaporkan hasil-hasil
kerjanya dan mohon petunjuk lebih lanjut. Ikut hadir mendengarkan Moh. Ruhan
Sanusi, Ketua PSW Pusat waktu itu.
Tanggal 9 Mei
1986 Muallif Sholawat Wahidiyah RA menyampaikan wasiat tersebut diatas yang
dihadiri ± 115 hadirin-hadirot dari pengurus PSW Pusat serta para anggota DPPW
dan sebagian Pengurus PSW Kab/Ko serta pengamal Wahidiayh yang ada kaitannya
dengan berbagai masalah. Mereka hadir atas undangan Team 3 dalam rangka
persidangan menyelesaikan masalah yang terjadi pada waktu itu. Wasiat tersebut
intinya adalah :
- Pondok
Kedunglo adalah Hak Waris.
- SMP dan SMA
Wahidiyah, di-ijinkan asal tidak mengganggu kehidupan pondok dan masjid
Kedunglo dan tidak mengganggu perjuangan Wahidiyah.
- Soal
Wahidiyah: Wahidiyah adalah seperti perjuangan Islam pada umumnya, bukan hak
waris. Para Penyiar Sholawat Wahidiyah dan para Pengamal Wahidiyah adalah
“wakil saya”(wakil beliau Muallif Sholawat Wahidiyah RA) “Al Wakil
Atsiirul-Muwakkil”, “Muwakkil kuasa penuh”.
- “Segala
perbuatan dan perkataan, maupun apa saja, yang merugikan perjuangan terutama,
yang menjadikan fitnah, ini supaya dibuang sama sekali!”
Menunjuk A.F.
Baderi supaya duduk menjadi wakil ketua II, sehingga pimpinan PSW Pusat menjadi
3 (tiga orang, yaitu: Moh. Ruhan Sanusi, K. Moh. Jazuli Yusuf, dan A.F. Baderi.
Menunjuk Drs. Imam Mahrus menjadi sekretaris I PSW Pusat dan Agus Imam Yahya
Malik sebagai sekretaris II. (Ket: untuk lebih lengkapnya pembaca dapat
mendengarkan kaset wasiat tersebut).
Wafatnya
Beliau Muallif Sholawat Wahidiyah RA
Romo Yahi
kurang sehat, beliau gerah (sakit), dan kabar itu segera menyebar keseluruh
peserta resepsi Mujahadah Kubro di bulan Rojab tahun 1989. kontan saja resepsi
Mujahadah Kubro dalam rangka memperingati peristiwa Isro’ Mi’roj Nabi Muhammad
SAW menjadi lain dari biasanya. Suasana syahdu terasa sangat melingkupi
hari-hari Mujahadah Kubro. Apalagi pada malam pertama, kedua dan ketiga Mbah
Yahi tidak mios (tidak hadir secara langsung ketempat acara) untuk menyampaikan
fatwa dan amanat.
Pada malam
terakhir, sebenarnya beliau sudah melimpahkan pengisian fatwa dan amanat kepada
orang lain. Tetapi hadirin para pengamal Sholawat Wahidiyah sangat merindukan
beliau hadir ditengah-tengah peserta untuk mendengarkan langsung fatwa terakhir
beliau. kemudian wakil dari peserta menyampaikan kepada Mbah Yahi akan
kerinduan dan kecintaan para pengamal kepada Mbah Yahi. Akhirnya beliau
berkenan menyampaikan fatwa dan amanat terakhirnya.
Syukur
alhamdulillah, karena kasih sayang Mbah Yahi kepada para pengamal, beliau
berkenan menyampaikan fatwa terakhir di malam terakhir pelaksanaan mujahadah
kubro meski dari kamar dalem tengah. Pada kesempatan tersebut beliau
meng-ijasahkan Sholawat Wahidiyah kepada seluruh hadirin untuk diamalkan dan
disiarkan dengan kalimat, “ajaztukum bihadzihis sholawatil wahidiyyati fil
amali wan nasyri”. Setelah itu kondisi kesehatan beliau semakin menurun, walau
demikian beliau masih juga berkenan mengisi pengajian Minggu pada dari dalem.
Begitulah beliau
Mbah Yahi QS wa RA, di saat-saat akhir hayatnya beliau masih membimbing dan
mentarbiyah pengikutnya. Pada hari Selasa Wage tanggal 7 Maret 1989 atau 19
Rojab 1409 jam 10.30 WIB, beliau dipanggil menghadap sang Kholik Allah SWT.
(Ditulis dari berbagai sumber)
KH. Abdul Madjid QS. Wa RA sebagaimana tertulis pada bagan silsilah termasuk keturunan Rasulullah SAW dari Sayyidina Hasan RA pada urutan ke-32 yaitu :
- Nabi Muhammad SAW.
- Sayyidah Fatimah RA dan Sayyidina Ali RA.
- Sayyidina Hasan RA.
- Abdullah Ash-Shadiq.
- Alwi.
- Muhammad Abdullah.
- Ahmad Abdullah.
- Hafid Albas.
- Ali Rahmad Abdullah.
- Umar Abu Hasan.
- Ustman Karim.
- Ali Shadiq Abdullah.
- Alawi Abdullah.
- Abdullah Alawi.
- Malik Musthafa.
- Abdur Rahman Karim.
- Ghazali Albas.
- Abdullah Ghazali.
- Abdullah Al-Aziz Abdullah.
- Ikhsan Nawawi.
- Hanafi Musa.
- Abdullah Al-Malik Karim.
- Zainuddin.
- Abdullah Musa.
- Abdurrahman.
- Syafi’i.
- Shaleh.
- Abdur Razaq.
- Syafi’i.
- K. Abdul Madjid.
- KH. Moh Ma’roef RA (pendiri Pondok Kedunglo).
- KH. Abdul Madjid QS. Wa RA ( Shahibul Wahidiyah).