Tidak banyak yang mengetahui perbedaan
istilah “ghauts” dan “Mujaddid” di antara kaum muslimin, utamanya
pengamal wahidiyah. Mengenai siapa, apa peranannya dalam kehidupan ini, apa
tugas-tugas yang menjadi kewajibannya dan sejak kapan keberadaannya. Kurangnya
pemahaman ini berakibat fatal, bahkan beberapa non-pengamal yang “ogah”
terhadap wahidiyah mengatakan bahwa “ghauts” itu disematkan kepada nabi.
Benarkah demikian?
Istilah “Mujaddid” secara
etimologi berarti pembaharu dan reformis. Keberadaannya ialah terletak pada
zaman setelah wafatnya baginda Rasulullah SAW. Di dalam sebuah hadits
disebutkan bahwa keberadaan mujaddid adalah orang yang diutus oleh Allah SWT
setiap penghujung 100 tahun untuk memperbaiki persoalan agama.
Sedangkan “ghauts” secara harfiah
berarti “penolong”. Ulama tasawwuf menyepakati bahwa ghauts adalah
pemimpin para waliyullah di muka bumi ini. Keberadaannya ditujukan untuk
menuntun dan membimbing umat manusia menuju kepada “keselamatan” yang diridhai
Allah Swt dan Rasulullah SAW.
Mujaddid dikategorikan menjadi dua; Sebelum dan setelah
Rasulullah SAW. Pertama, Mujaddid sebelum Rasulullah SAW adalah Ulul
‘Azmi (mujaddid tasyri’), mereka adalah pembawa syariat dan di
dalamnya juga membawa tahqiq (tasawuf). Nabi Nuh as. Adalah mujaddid
tasyri’ pertama, dan diakhiri oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan para nabi
dan rasul selain ulul ‘azmi bertugas untuk menjalankan misi Rasul ulul
azmi tersebut.
Kedua, mujaddid setelah
Rasulullah SAW yang terbagi menjadi dua kategori: Mujaddid tahqiq dan mujaddid
ghairu tahqiq (tasyri’). Mujaddid tahqiq adalah seseorang
yang diutus oleh Allah untuk mengembalikan dan menghidupkan kembali ajaran dan
tuntunan Rasulullah SAW untuk wushul (sampai) “mengenal Allah” (makrifatullah).
Dalam hal ini, mujaddid tahqiq adalah “pemimpin” dari semua waliyullah
(Sulthaanu al-Auliya’). Sedangkan mujaddid ghairu tahqiq memiliki
peran untuk membangun dan mengembalikan syari’at Rasulullah sebagaimana
semestinya, tidak seperti mujaddid tasyri’ di zaman sebelum rasulullah.
Mujaddid tasyri’ disematkan kepada lima nabi dan rasul—ulul
‘azmi, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan
jarak antara satu Mujaddid Tasyri’ dengan yang lainnya adalah seribu
tahun. Masing-masing nabi dari ulul ‘azmi membawa corak syariatnya
tersendiri yang berbeda satu sama lain, setiap diganti dengan nabi—yang juga
ulul ‘azmi—maka syariatnya semakin lebih sempurna.
Sedangkan para nabi yang tidak termasuk ulul
‘azmi berperan menjalankan dan menyampaikan syariat pada nabi ulul ‘azmi
sebelumnya. Misalnya adalah para nabi yang hidup di antara zamannya Nabi Nuh AS
dan Nabi Ibrahim AS; yaitu Nabi Hud AS dan Nabi Shaleh AS (keduanya bertugas
menyampai syariat nabi Nuh AS). Para nabi—yang bukan termasuk ulul ‘azmi
tidak serta merta taklid dengan syariat nabi sebelumnya, tetapi tetap
mendasarkannya pada wahyu Allah.
Nabi-nabi yang hidup sebelum Nabi Nuh
AS: Nabi Adam AS, Nabi Syis AS sampai Nabi Nuh AS (masing-masing berjarak 1000
tahun) tidak menyinggung soal mujaddid. Sebab pada waktu itu masih belum
ada syariat, lebih diarahkan kepada perbaikan cara hidup dan memperbaiki
kesejahterasaan anak cucunya—hal ini berlangsung sampai nabi Nuh AS. Dengan
kehadiran Nabi Nuh AS barulah ada batasan-batasan syariat, misalnya antara ibu
dan anak, anak laki-laki dan anak perempuan. Termasuk juga perintah dan
adab-adab, kewajiban-kewajiban berdasarkan perintah Allah—begitu seterusnya
dengan hadirnya ulul ‘azmi hingga menjadi ‘lebih sempurna’. Sehingga
tibalah dipuncak kesempurnaan syariat pada zaman Nabi Muhammad SAW yang
meliputi semua syariat dari pada pendahulunya. (hasyiyah Shawi, Juz 11 hal.
29).